Setidaknya sebagian manusia pasti pernah mempertanyakan nilai dari segala tindakannya,banyak hal dalam keseharian kita diberi label “baik” seperti pekerjaan yang mapan, prestasi, dan lain sebagainya. Akantetapi, sanggat jarang terlihat orang-orang yang mempertanyakan apa sebenarnya nilai dari kata baik itu sendiri? dan mengapa hal itu disebut baik?
Ketika seseorang diberikan pertanyaan apa itu baik?sebagian orang akan merasa bingung untuk mendefinisikannya, entah karena tidak terdefinisikan—tidak memiliki padanan dalam realitas—ataukah baik memiliki nilai hanya saja kita sulit unut memahaminya. Tentu saja, hal ini menjadi problem oleh sebagian orang. ketika sebagian besar orang berupaya menjawab persoalan nilai dari baik, tidak sedikit dari mereka mendefinisikannya bergantung pada sudut pandang masing-masing. Tidak heran, sesuatu dianggap baik ketika seorang teman sering membantu kita saat kesusahan.Hal ini serupa dengan pertanyaan apa itu Donal Trump?Kebanyakan orang pasti menjawab dia adalah presiden Amerika. Tentu ini benar, tetapi justru jawaban ini diikuti pertanyaan,kenapa seseorang itu didefinisikan berdasarkan apa yang dia kerjakan?
Tak sedikit orang-orang yang mendefinisikan nilai baik melalui nila-nilai sosial ataupun dengan hal-hal yang bersifat alami. Inilah yang menjadi perhatian utama George Edward Moore, seorang filsuf meta etika. Tentu hal ini sangat menarik untuk kita diskusikan. oleh karena itu, dalam tulisan ini saya akan membahas bagaimana pandangan Moore mengenainilai baik. Namun, akan lebih baik jika saya memberikan penjelasan singkat tentang siapa itu George Edward Moore.
George Edward Moore
George Edward Moore adalah filsuf Inggris yang bersama rekan-rekannya seperti Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan Gottlob Frege, yang merupakan salah satu pendiri dari tradisi filsafat analitik. Moore menjadi terkenal karena pemikiran analisisnya mengenai konsep akal sehat, kontribusinya terhadap etika, epistemologi, metafisika, dan karakter moral cukup berpengaruh di masanya bahkan sampai saat ini. Selain itu, Ia juga terkenal karena pembelaannya terhadap naturalisme non-etis dan penekanannya pada akal sehat dalam metode filsafat. Moore juga dikenal karena sebuah bukunya yaitu Principia Ethica, yang merupakan salah satu inspirasi utama gerakan melawan naturalisme etika. Karya-karya penting lainnya termasuk Ethics, Some Main Problems of Philosophy dan Philosophical Papers,Terbilang masi relefat danCukup popular hingga saat ini.
Good is good
Dalam Principia Ethica, Moore mengkritik studi etika karena asumsi nya bahwa nilai baik dapat didefinisikan dalam bentuk, misalnya, kesenangan atauhasrat. Moore menyatakan bahwa kebaikan tidak dapat didefinisikan. Karenanya, etika tidak memiliki landasan dalam ilmu alam atau bahkan metafisika.
Oleh sebab itu bagi Moore, kita berhak mempunyai konsepsi sehari-hari tentang sesuatu. Masalah makna dan kebenaran tentang suatu nilai dari kata “baik”hampir tidak muncul dalam bahasa sehari-hari, selagi kita tahu cara menggunakan dan memahami sesuatu yang kita katakan. Satu-satunya masalah penting adalah apa yang Moore sebut “analisis makna”, adalah yang dengannya dia ingin mengacu pada tingkat refleksi yang lebih dalam tentang hubungan antara konsep dan definisinya. Pengetahuan semacam itu tidak dibutuhkan untuk pemakaian sehari-hari, tetapi merupakan metode penting dalam analisis filsafat.
Menurut Moore, konsep apa pun dapat dianalisis terutama dalam salah satu dari dua cara. Ia dapat dibedah menjadi bagian-bagian pembentuknya, dengan kata lain ia menjadi sebuah konsep-konsep yang lebih dasar, atau ia dapat didefinisikan secara negatif dari hubungannya dan pemisahannya dari konsep-konsep lain.
Moore menggunakan metode analisis ini dalam pembahasannya tentang ‘apa itu baik?’, sebuah pertanyaan yang dia anggap merupakan masalah pokok dalam etika. Ia berpendapat bahwa, kita tidak bisa mendefinisikan “baik” dengan merujuk pada sifat-sifat alami atau empiris, seperti menyenangkan, diinginkan, atau pun yang mendatangkan kebahagiaan. Jika kita mencoba mendefinisikannya dengan sifat-sifat natural tersebut, kita akan jatuh ke dalam apa yang ia sebut kekeliruan naturalistik (naturalistic fallacy). Kekeliruan ini terjadi ketika seseorang berupaya mengidentifikasi konsep moral seperti “baik” dengan konsep yang non-moral seperti “kesenangan”.Tentu, hal ini akan menjadi sama ketika ada seseorang yang mengatakan bahwa baik itu sama dengan menyenangkan, dengan sendirinya bagi more,definisi seperti ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah semua yang menyenangkan pasti baik?,menurutnya, jika jawabannya masih terbilang tidak, maka pasti definisinya gagal.
Sederhananya, Moore menganalogikannya seperti warna ‘kuning’. Moore mengatakan bahwa nilai‘baik' adalah sebuah gagasan sederhana, sebagaimana ‘kuning’ adalah gagasan sederhana. Kita tidak bisa mendefenisikan warna kuning kepada seseorang yang belum mengetahuinya, maka kita hanya bisa menunjukkannya, begitu pula dengan nilai'baik' kita tidak dapat menjelaskan apa itu baik?. Meskipun semua hal yang baik mungkin menyenangkan. Selanjutya, Moore berpendapat bahwa meskipun orang dapat mengatakan sesuatu tentang suatu sifat alami, misalnya kesenangan, bahwa ia baik, penegasan ini dapat selalu secara bermakna diikuti oleh pertanyaan, mengapa ia baik?.
Kualitas dari niali ‘baik’ ini tidak dapat diamati oleh indra atau diukur oleh ilmu pengetahuan, ia adalah sifat moral yang ada secara objektif di luar alam fisik, itulah mengapa ia disebut “non-natural."
Intuisi
Bagi Moore, baik adalah sifat non-natural sederhana yang mana kita mengetahuinya secara intuitif. Moore menolak pandangan Kant bahwa etika berkenaan dengan rasio, dan pandangan utilitarian bahwa sifat alami dapat diidentifikasi dengan baik.
Intuisi disini, bukan sekadar perasaan, melainkan suatu kesadaran intelektual langsung terhadap nilai kebaikan. Kita melihat bahwa suatu tindakan adalah baik, tanpa perlu membuktikannya secara ilmiah atau deduktif. Intuisi ini bekerja seperti penglihatan kita melihat bahwa membantu orang yang kelaparan itu baik, bukan karena ia menyenangkan atau bermanfaat secara praktis, tetapi karena nilai itu hadir secara langsung dalam kesadaran kita.
Jadi ketika kita mengatakan sesuatu itu baik, kita tidak sedang melakukan analisis empiris, melainkan mengenali sifat-sifat non-naturalnya secara langsung melalui akal, Namun, penting untuk dicatat bahwa Moore tidak menganggap intuisi ini sempurna atau valid, tetapi ia adalah cara utama kita mengakses kebenaran moral.
Referensi
https://id.m.wikipedia.org/wiki/George_Edward_Moore
Ahmad Asnawi, Sejarah para filsuf dunia: 90 pemikir terhebat paling berpengaruh didunia,jawa barat:desa pustaka Indonesia 2019.
Penulis