Mungkin setiap dari kita pernah memiliki pertanyaan besar tentang hidup, untuk apa hidup?, bagaimana dan apa itu makna hidup?. Tentu hal ini seringkali menjadi tantangan dalam menjalani kehidupan, bahkan persoalan ini menjadi diskursus serius dalam kajian filsafat, yang mana sebagian besar filsuf di abad ke-18 berfokus pada persoalan eksistensialisme. cukup banyak filsuf yang membahas tentang makna hidup, namun kali ini saya hanya akan berfokus pada salah seorang filsuf eksistensialisme dari tradisi islam yang akrab disebut ‘Mulla Sadra’.
Ketika jean-Paul Sartre mengatakan bahwa manusia “terkutuk untuk bebas,” ia ingin menegaskan persoalan eksistensial manusia yang harus menentukan sendiri arah hidupnya dalam dunia yang absurd, sebuah dunia tanpa makna bawaan. Bagi Sartre, kebebasan bukanlah pilihan, melainkan beban yang melekat pada eksistensi itu sendiri. Kita di lempar ke dunia ini tanpa panduan mutlak, oleh karena itu kita harus menciptakan esensi kita sendiri. Sunyi, gelisah, penderitaan, namun tak terhindarkan.
Namun, bayangkan jika kebabasan tidak di maknai sebagai kutukan, melainkan sebagai anugrah. Di sinilah Mulla Sadra menawarkan prespektif yang sangat berbeda.
Filosof besar dari tradisi islam ini memandang kebebasan bukan sebagai beban, melainkan sebagai “jembatan menuju transedensi” sebuah jalan yang memungkinkan manusia melampaui dirinya dan meraih makna yang lebih tinggi.Singkatnya kebebasan adalah bagian dari desain ilahi, sebuah potensi spiritual yang diberikan pada setiap kita agar bisa menjalin hubungan dengan Tuhan.
Mulla Sadra juga melihat bahwa eksistensi dan esensi saling terhubung secara dinamis, bahkan Sadra memandang bahwa manusia tidak berangkat dari ketiadaan makna, melainkan dari realitas esksistensial yang terus bergerak “harakah jawhariyah” menuju kesempurnaan.
Tentu pandanganya tidak lahir dari ruang hampa. seperti kita ketahui terdapat tiga madrasa dalam tradisi islam yakni AL- Masyaiyah (peripatetik) dan AL-Isyraqiyah (iluminasi). Sadra menyatukan kedua tradisi filsafat islam ini dalam kerangka filsafat yang tidak hanya berfikir tentang keberadaan tetapi juga tentang perjalanan jiwa menuju yang ada. Inilah yang disebut dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah atau filsafat transenden.Pendiri dari madrasah ketiga inilah yang bernama lengkap “Sadr Al-Din Muhammad ibn Ibrahim Ibn Yahya Qawami Al-Syirazi” atau yang biasa kita kenal dengan sebutan “Mulla Sadra”.
Perjalanan Mulla Sadra
Sadr Al-Din Muhammad ibn Ibrahim Ibn Yahya Qawami Al-Syirazi atau Mulla Sadra adalah salah seorang tokoh filsafat Islam yang cukup banyak mempengaruhi filsuf islam setelahnya. Ia lahir tahun 1571 di Syiraz, Persia, Iran, sebuah kota yang dikenal sebagai sentral kajian filsafat dan disiplin ilmu-ilmu Islam tradisional lainnya. Ia tidak hanya dikenal sebagai filsuf Persia, tetapi juga seorang sufi, teolog dan penafsir Quran yang mendalam.
Tak diragukan lagi, perannya dalam tradisi khazaah intelektual Islam menjadi titik penting bagaimana akal, wahyu dan intuisi spiritual menjadi sebuah kerangka pemikiran yang komprehensif. Meskipun begitu, usahanya menyinergikan filsafat dengan agama ditolak oleh kelompok tradisionalis yang bahkan menuduhnya telah keluar dari ajaran agama yang normatif.
Oleh sebab itu, ia memilih untuk mengasingkan diri di desa kecil bernama Kahak, Iran, selama 15 tahun. Di sinilah Ia Kembali memikirkan persoalan-persoalan yang menjadi kontroversi , yang kemudian ia memperoleh beragam perspektif baru. Pengalaman ini memberikan semangat baru dalam driinya, keluar dari pengasingan dan menulis karya besarnya, al-Asfr al-Arba’ah. Sejak saat itu, ia Kembali menghabiskan waktunya untuk menulis, mengajar dan diminta untuk memimpin perguruan tinggi oleh gubernur Syiraz. Kemudian di tahun 1640 M, ia jatuh sakit dan dinyatakan meninggal dunia di Basrah.
Sumber pemikiran
Sebagai tokoh sentral dalam madrasah ketiga filsafat Islam, Mulla Sadra membangun system pemikirannya melalui dialog kritis dengan sejumlah tokoh besar sebelumnya. Ia tidak hanya menjadikan gagasan-gagasan mereka sebagai rujukan, tetapi juga melakukan kritik dan rekonstruksi untuk merakit fondasi filsafatnya sendiri.
Pemikiran Ibnu Sina menjadi salah satu pengaruh awal yang signifikan. Sadra banyak meangambil pandangan ibnu sina, terutama tentang realitas wujud yang lebih prinsipil dibandingkan esensi. Namun demikian, ia juga mengajukan kritik tajam terhadap beberapa aspek, salah satunya adalah penolakan ibnu sina terhadap kesatuan absolut antara subjek dan objek pengatahuan. Bagi Sadra, justru kesatuan inilah yang menjadi kunci dalam memahami bubungan antara manusia dengan realitas.
Pengaruh kedua dating dari filsuf iluminasi Suhrawardi. Sadra mengadopsi gagasan bahwa esensi bukanlah realitas yang hakiki. Ia juga terinspirasi oleh konsep hierarki Cahaya Suhrawardi untuk merumuskan gagasannya sendiri, yaitu “tasyik al-wujud”gagasan bahwa wujud bersifat tunggal namun muncul dalam tingkat-tingkat intensitas yang berbeda
Sementara itu, pemikiran ibn Arabi memperkaya Sadra dengan pandangan metafisis yang lebih mendalam. Konsep bahwa esensi tidak mutlak dan eksistensi adalah satu-satunya realitas yang benar-benar ada menjadi pilar penting dalam kerangka ontologies Sadra.
Dengan menyatukan tiga arus besar ini “rasionalisme Avicennian, iluminasi Suhrawardian, dan spiritualitas Ibn Arabian” Sadra berhasil merumuskan sintesis filsafat yang orisinal dan transformatif dalam sejarah pemikiran Islam.
Gerak substansial
Mulla Sadra memperkenalkan sebuah konsep penting dalam filsafatnya, yaitu bahwa subtansi makhluk tidak bersifat statis, melainkan senantiasa mengalami gerak dan perubahan menuju kesempurnaan. Ia meyakini bahwa gradasi wujud bersifat dinamis—eksistensi tidak berhenti pada satu titik melainkan bergerak secara terus –menerus dari tingkat yang paling rendah menuju tingkat yang pakin tinggi dalam hierarki keberadaan.
Pandangan ini berbeda dengan pendapat para filsuf sebelumnya, yang umumnya beranggapan bahwa gerak hanya mungkin terjadi jika ada sesuatu yang tetap sebagai dasarnya—akni entitas yang diam sekali gus menjadi penggerak. Mereka membedakan antara wujud potensial dan actual, dan menyatakan bahwa gerak tidak tidak terjadi pada subtansi itu sendiri, melainkan hanya pada aksiden seperti tempat, posisi,kualitas, atau kuantitas.
Namun, Sadra menolak pandangan ini. Menurutnya, geraktidak dapat disebabkan oleh sesuatu yang sepenuhnya tetap, karena entitas yang benar-benar tidak berubah hanya dapat memahami dirinya sebagai sesuatu yang beku tanpa dinamika. Meskipun suatu entitas mungkin memiliki esensi yang tetap, eksistensinya justru bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan.
Oleh karena itu, Sadra menawarkan gagasan tentang bentuk gerak yang lebih mendasar, yang ia sebut sebagai gerak subtansial “al-harakan al-jauhariyah”. Menurutnya, perubahan tidak hanya terjadi pada aksiden, tetapi juga pada subtansi itu sendiri. Gerak subtansi inilah yang dianggap paling fundamental, karena seluruh perubahan pada aksiden bergantung pada perubahan dalam subtansi. Dengan demikian, seluruh realitas wujud berada dalam proses gerak yang berkelanjutan, tidak pernah diam, dan tidak pernah statis.
Penulis