Etika, merupakan sebuah kata yang sudah seringkali kita dengar namun sangat jarang kita renungkan secara mendalam. Ia biasanya hadir dalam setiap aspek kehidupan. Etika, sebagai salah satu cabang filsafat yang menyelidiki akan nilai moral serta prinsip-prinsip perilaku yang baik, dan telah menjadi subjek perdebatan dan refleksi selama berabad-abad.Sebuah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang seringkali dibahas dalam etika dan biasanya muncul dalam kehidupan sehari-hari, yakni:
Apa sih itu kebaikan?,laluBagaimana kitamemutuskan antara yang benar dan salah?, serta Apa tujuan hidup kita?
Sebab itu, dalam tulisan saya kali ini, sayaakan membahas pertanyaan-pertanyaandiatas dengan beberapa aspek kunci dari etika melalui lensa pemikiran Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang sangat berpengaruh dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pemahaman kita tentang etika kebajikan.
[Biografi singkat Aristoteles]
Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stagira, Chalcidice, Yunani Utara. Ia lahir dari keluarga dokter. Ayahnya, Nicomachus, bekerja sebagai dokter istana pada masa Raja Amyntus III dari Makedonia. Orang tua Aristoteles diduga telah meninggal ketika ia kecil, dan sejak itu ia diasuh oleh kerabatnya.
Ketika menginjak usia 17 tahun, Aristoteles pergi ke Athena untuk belajar kepada Plato. Aristoteles adalah murid Plato paling berbakat, yang menghabiskan 20 tahun sebagai siswa sekaligus guru di Akademi Plato. Setelah Plato meninggal pada 347 SM, Aristoteles meninggalkan Athena dan menghabiskan waktunya selama lima tahun di kota pelabuhan Assos, Turki. Di sinilah ia memulai penelitian di bidang biologi, zoologi, dan botani, sekaligus menikahi perempuan bernama Pythias. Pada tahun 342 SM, Aristoteles dipanggil ke Makedonia oleh Raja Philip II untuk mengajari putranya, Alexander. Dan kemudian, Alexander menjadi raja yang masyhur dan dikenal sebagai Alexander the Great atau Alexander Agung.
Pada 335 SM, Aristoteles kembali ke Athena dan menyewa tempat untuk dijadikan sekolah. Sekolah yang dikenal dengan nama Lyceum itu semakin hari semakin banyak menarik minat siswa dari seluruh penjuru Yunani. Lyceum kemudian mengembangkan kurikulum yang berpusat pada pemikiran-pemikiran Aristoteles. Di Lyceum inilah, Aristoteles diduga menyusun sebagian besar dari 200 karyanya yang berisi pemikiran dari berbagai disiplin ilmu. Aristoteles banyak menulis mengenai ilmu fisika, anatomi, geologi, meteorologi, biologi, zoologi, filsafat, ilmu pemerintahan, metafisika, ilmu politik, retorika, teologi, dan psikologi. Ia juga memberi sumbangan karya sumbangan dibidang ilmu pendidikan, ilmu budaya asing, sastra, dan puisi.
[Pengembangan Kebajikan Moral Aristoteles]
Pemikiran Aristoteles tentang manusia, tertuju pada kemampuanutama manusiadalamberpikir secara rasional. Menurutnya,pemikiran rasional yang paling baik adalah pemikiran yangmelahirkan kebijaksana untuk tujuan kebajikan. Itulahyang ia sebut sebagaiesensi etika.
Aristoteles menekankan pentingnya jalan tengah (golden mean) dalam suatu pengembangan Kebajikan Moral.Menurutnya, kebajikan moral itu terletak diantara 2 ekstrem, kekurangan dan kelebihan. Misalnya seperti keberanian. Bagi Aristoteles, keberanian adalah jalan tengah itu antar pengecut dan kecerobohan.SedangkanKeadilan,merupakan jalan tengah antarakezaliman dankejujuran. Oleh krena itu,untuk mencapai suatu kebajikan moral, kita harus menghindari kedua ekstrem tersebut dan mencari keseimbangan yang tepat.
Selain halitu, Aristoteles juga menekankan pentingnya kebiasaan (habit) dalam suatu pengembangan kebajikan moral.Menurut,kebajikan moral bukanlah sesuatu yang kita miliki secara alami, akan tetapi, sesuatu yang kita kembangkan melalui latihan dan kebiasaan. Namun menariknya,Aristoteles juga membahas pentingnya persahabatan (friendship) dalam mencapai eudaimonia. Ia berpendapat bahwa persahabatan merupakan bagian penting dari kehidupan yang baik dan bermakna. Persahabatan memungkinkan kita untuk berbagi pengalaman, saling mendukung, dan mengembangkan kebajikan moral.Oleh karena itu, dengan menerapkan semua prinsip yang telah diwariskan olehnya, maka kita dapat mengembangkan kebajikan moral dan mencapai suatu kebahagiaanyang sempurna (eudaimonia).
Namun, dalam menentukan jalan tengah itu tidak selalu mudah. Aristoteles juga mengakui hal tersebut. Baginya, menentukan jalan tengah harus memerlukan kebijaksanaan (phronesis)—kemampuan untuk menilai situasi dan menentukan tindakan yang tepat dalam konteks tertentu—sehingga, Kebijaksanaan bukanlah sekadar pengetahuan teoritis, tetapi juga kemampuan praktisyang bisa kitaterapkandalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun begitu, Aristoteles juga memiliki keterbatasan. Teori etika kebajikannya telahmendapatkankritik karena kurang memberikan panduan yang jelas untuk menghadapi dilema moral yang kompleks. Jalan tengah tidak selalu mudah ditentukan, dalam beberapa kasus, mungkin tidak ada jalan tengah yang jelas. Selain itu, teori etika kebajikan Aristoteleskurang memberikan pehatiandalam kontekssosial dan budaya. Kebaikan moralserigkali berbeda-beda tergantung pada konteks sosial dan budaya tertentu.
Akan tetapi, kontribusi Aristoteles terhadap etika tetaplah penting. Teori etika kebajikannya memberikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami tujuan hidup manusia dan untuk mengembangkan karakter moral yang baik. Penekanannya pada jalan tengah, kebiasaan, dan kebijaksanaan tetap relevan hingga saat ini, dan pemikirannya terus menginspirasi perdebatan dan penyelidikan dalam bidang etika. Warisan Aristoteles mengingatkan kita akan pentingnya terus merenungkan nilai-nilai moral dan untuk mencari jalan hidup yang bermakna dan berkelanjutan.
Dalam bagian selanjutnya dari tulisan ini, saya akan menguraikan secara mendalam perbandingan antara pemikiran etika Immanuel Kant dan Aristoteles, dengan tujuan menggali perbedaan mendasar maupun titik-titik persinggungan di antara keduanya dalam memandang moralitas, tindakan manusia, serta dasar normatif etika.
[Perbandingan pemikiran Aristoteles dan Kant dalam menuju kehidupan bermakna]
Dua tokoh yang pemikirannya sangat berpengaruh dalam bidang ini adalah Aristoteles, dengan etikakebajikannya seperti yang sudah dijelaskan di awal, dan Immanuel Kant dengan etikadeontologinya yang berpusat pada imperatif kategorissepertiyang sudah saya tulis pada tulisan saya sebelumnya. Kali ini saya akan membandingkan dan mengkontraskan kedua pendekatan tersebut, mengeksplorasi kekuatan dan kelemahan masing-masing dalam mencapai pemahaman yang komprehensif tentang etika.
Aristoteles, seperti yang telah dibahas sebelumnya, menekankan pengembangan kebajikan moral melalui kebiasaan dan pencarian jalan tengah (golden mean) antara kekurangan dan kelebihan. Ia berfokus pada karakter individu dan bagaimana karakter tersebut membentuk tindakan moral. Tujuan utamanya ialah eudaimonia, dicapai melalui pembudayaan kebajikan yang memungkinkan individu untuk berfungsi dengan baik dalam masyarakat dan mencapai kepuasan hidup yang bermakna. Kebaikan bagi Aristoteles, adalah sesuatu yang praktis dan kontekstual, kemudian dipelajari melalui pengalaman dan kebijaksanaan (phronesis).
Sebaliknya, Immanuel Kant mengemukakan etika deontologi yang menekankan kewajiban moral terlepas dari konsekuensi. Baginya, tindakan moral ditentukan oleh niat dan kepatuhan terhadap hukum moral universalyang dirumuskan dalam imperatif kategorisnya. Imperatif kategoris dalam formulasi paling terkenalnya sebagai berikut : “Bertindaklah hanya menurut prinsip yang dapat kaukehendaki menjadi hukum universal”. Ini berarti bahwa tindakan moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat diterapkan secara universal tanpa menimbulkan kontradiksi. Kant menekankan rasionalitas dankeuniversalan sebagai dasar etika, menolak pendekatan berbasis konsekuensi seperti utilitarisme.
[Perbedaan mendasar antara etika Aristoteles dan kant]
Perbedaan mendasar antara Aristoteles dan Kant terletak pada fokus mereka. Aristoteles berfokus pada karakter individu dan pengembangan kebajikan, sementara Kant berfokus pada prinsip-prinsip universal dan kewajiban moral. Aristoteles menekankan pada konteks dan pengalaman, sedangkan Kant menekankan pada rasionalitas dan keuniversalan. Aristoteles menawarkan pendekatan yang lebih intuitif dan praktis, sedangkan Kant menawarkan pendekatan yang lebih sistematis dan rasional.
Meskipun berbeda, kedua pendekatan ini dapat saling melengkapi. Konsep jalan tengah Aristoteles dapat membantu dalam menerapkan imperatif kategoris Kant. Mempertimbangkan konteks dan konsekuensi tindakan, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip moral universal. Sehingga, dapat menghasilkan keputusan etis yang lebih bijaksana. Misalnya, dalam dilema moral yang kompleks, imperatif kategoris dapat memberikan kerangka kerja moral yang universal, sementara kebijaksanaan Aristotelian dapat membantu dalam menentukan tindakan yang paling sesuai dengan situasi spesifik.
Namun, terdapat juga potensi konflik antara kedua pendekatan ini. Meski sama-sama membahas soal moral, pendekatan Kant dan Aristoteles bisa saling bertentangan dalam praktik. Etika Kant, dengan imperatif kategorisnya, menekankan bahwa prinsip moral harus berlaku untuk semua orang dalam semua situasi. Karena itu, pendekatan ini bisa terasa terlalu kaku dan tidak memberi ruang bagi pertimbangan khusus dalam situasi tertentu. Sebaliknya, pendekatan Aristoteles yang lebih fleksibel—dengan menyesuaikan tindakan pada konteks dan keseimbangan—terkadang dianggap terlalu relatif dan tergantung pada pandangan pribadi.
Perbedaan ini bisa menyulitkan saat seseorang dihadapkan pada dilema moral yang rumit. Misalnya, bayangkan ada seseorang yang berbohong demi menyelamatkan nyawa temannya dari bahaya. Menurut Kant, berbohong tetap salah karena tidak bisa dijadikan aturan umum. Namun menurut Aristoteles, jika kebohongan itu dilakukan demi kebaikan dan menunjukkan kebajikan seperti keberanian dan kasih sayang, maka itu bisa dianggap sebagai tindakan yang benar. Dalam situasi seperti ini, kita bisa melihat bagaimana prinsip universal dan konteks moral bisa saling berbenturan.
Kesimpulannya, baik etika kebajikan Aristoteles maupun etika deontologi Kant menawarkan kontribusi yang berharga dalam memahami etika. Aristoteles, memberikan kerangka kerja untuk pengembangan karakter moral dan pencarian kebahagiaan, sementara Kant, memberikan kerangka kerja untuk menentukan tindakan yang benar berdasarkan prinsip-prinsip universal. Meskipun terdapat perbedaan mendasar, kedua pendekatan ini dapat saling melengkapi dan memberikan panduan yang lebih komprehensif dalam menghadapi dilema moral yang kompleks. Dengan menggabungkan kebijaksanaan praktis Aristoteles dengan rasionalitas universal Kant, kita dapat mendekati pemahaman Etika yang lebih kaya dan bermakna.
Penulis